Perbedaan pendpat di
kalangan para ulama tentang wajib atau tidak wajib mengulang akad nikah atas wanita yang hamil
akibat zina, menyebabkan perbedaan pendapat mereka tentang boleh atau tidak
boleh menikahi wanita tersebut.
1. Ulama Hanafiyah sependapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil bila
yang menikahinya laki-laki yang menghamilinya.
المرأة الحامل من
الزنا عند الحنفية : يحل بالاتقات للزاني ان يتزوج بالزانية التى زنى بها .
Alasannya adalah bahwa wanita hamil akibat zina tidak termasuk ke
dalam golongan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi sebagaimana yang
terdapat di dalam al-Qur’an (lihat an-Nisaa’:22, 23, 24). Akan tetapi, bila
yang menikahinya bukan laki-laki yang menghamilinya, terjadi perbedaan pendapat
di kalangan ulama mazhab ini.
a.
Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa hukum akad nikah wanita
hamil dengan laki-laki bukan yang menghamilinya adalah sah, hanya saja wanita
itu tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan kandungannya.
فقال الحنفية :
اذا كانت المزني بها غير حامل صح العقد عليها من غير الزاني، وكذلك ان كانت حاملا
يجوز الزواج بها عند ابي حنيفة ومحمد، ولكن ى يطؤها، لا يدخل بها حتى تضع الحمل
Alasan sah menikahinya sebagaimana yang
telah dikemukakan di atas, namun mengapa tidak boleh disetubuhi ? Hal ini
berdasarkan hadis Nabi Saw.,
لا يحل لامريئ يؤمن بالله واليوم الاخر أن
يسقي ماءه زرع غيره (رواه ابو داود)
“Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari
akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain.” (H.R. Abu Dawud)
b. Abu Yusuf dan Zafar berpendapat, hukumnya
tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina (dengan laki-laki lain) karena
kehamilannya itu menyebabkan terlarangnya persetubuhan, maka terlarang pula
akad nikah dengan wanita hamil itu. Sebagaimana hukumnya tidak sah menikahi
wanita hamil bukan karena zina, tidak sah pula menikahi wanita hamil akibat
zina.
وقال ابويوسف وزفر
: لا يجوز العقد على الحامل من الزنا لان هذا الحمل يمنع الوطء، فيمنع العقد أيضا،
كما يمنع الحمل الثابت أي كما لا يصح العقد على الحامل من غير الزنا لا يصح العقد
على الحامل من الزنا
2. Ulama Syafi’iyah berpendapat, hukumnya sah menikahi wanita hamil
akibat zina, baik yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya maupun bukan
yang menghamilinya.
Alasannya, karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan
wanita yang diharamkan untuk dinikahi.
Mereka juga berpendapat, karena akad nikah yang dilakukan itu
hukumnya sah, wanita yang dinikahi tersebut
halal (boleh) untuk disetubuhi walaupun ia dalam keadaan hamil.
ويحل التزوج
بالحامل من الزنا ووطؤها وهي حامل على الأصح
3. Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa wanita yang berzina, baik atas dasar suka sama suka maupun
karena diperkosa, hamil atau tidak, ia wajib istibra’-nya tiga kali
haid, sedangkan bagi amat (bukan wanita merdeka), istibra’-nya cukup satu kali haid,
tapi bila ia hamil, baik merdeka maupun amat (budak), istibra’-nya
sampai melahirkan kandungannya.
إذا زنت الحرة
طائعة أو مكرهة إستبرئت بثلاث حيضات، والأمة بحيضة، والحامل منهما بوضع حملها
Dengan demikian, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi
wanita hamil akibat zina, meskipun yang menikahi itu laki-laki yang
menghamilinya, apalagi bila ia bukan
yang menghamilinya. Bila akad nikah tetap dilangsungkan dalam keadaan hamil (belum
istibra’),akad nikah itu fasid dan wajib difasakh.
لا يجوز العقد على الزانية قبل استبرئها ىمن الزنا بحيضات ثلاث أو
بمضي ثلاثة اشهر، فإن عقد عليها قبل الإستبراء. كان العقد فاسدا ووجب فسخه، سواء
ظهربها حمل أم لا
Pendapat ulama Malikiyah ini didasarkan pada hadits Nabi Saw,.
لا يحل لامريئ يؤمن بالله واليوم الاخر أن
يسقي ماءه زرع غيره (رواه أبو داود)
“Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari
akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain.” ( H.R. Abu Dawud)
4. Ulama Hanabilah
berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita yang diketahui telah
berbuat zina, baik dengan laki-laki bukan yang menzinainya terlebih lagi dengan laki-laki yang
menzinainya (karena dia tahu pasti bahwa wanita itu telah berbuat zina dengan
dirinya), kecuali wanita tersebut telah memenuhi dua syarat berikut.
Pertama, telah habis masa iddahnya.Jika ia hamil ,iddahnya habis
dengan melahirkan kandungannya. Bila akad nikah dilangsungkan dalam keadaan
hamil , akad nikah tersebut hukumnya tidak sah.
وقال الحنابلة:
إذا زنت المرأة لم يحل لمن يعلم ذلك نكاحها إلا بشر طينى. أحدهما : إنقضاء عدتها،
فإن حملت من الزنا فقضاء عدتها بوضعه. ولا يحل نكاحها قبل وضعه.
Adapun dasar yang digunakan oleh para ulama Hanabilah, disamping
hadits yang diriwayatkan oleh Abu dawud di atas, juga berdasarkan hadits
berikut ini.
وعن أبي سعيد رضي
الله عنه أن النبي ص قال فى سبايا أو طاس : لا تؤطأ حامل حتى تضع، ولا غير ذات حمل
حتى تحيض حيضة . (رواه ابو داود).
Dari Abu Sa’id r.a. bahwa Nabi Saw. Bersabda tentang tawanan wanita
Authos, “Tidak boleh bercampur dengan
wanita yang hamil hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil hingga
datang haidnya sekali.” (HR. Abu Dawud)
Kedua,telah
bertaubat dari perbuatan zinanya.
والثاني : أن تتوب
من الزنا
Dasar yang
digunakan adalah firman Allah SWT,
... وحرم ذلك على
المؤمنين .(النور : 3)
... dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.”
(an-Nuur:3)
Ayat ini dipahami oleh ulama madhab Hanabilah bahwa hukumnya
haram menikahi laki-laki atau perempuan
pezina kecuali jika mereka telah bertaubat.
فإذا تابت زال
التحريم لقول النبي ص : التاءب من الذنب كمن لا ذنب له.
Di dalam Fiqhus Sunnah didapat keterangan bahwa bila akad nikah
dilangsungkan sebelum wanita itu bertobat dan melahirkan kandungannya,
pernikannya fasid dan keduanya harus diceraikan.
أن الإمام أحمد ضم إلى التوبة شرطأ اخر،
وهو انقضاء العدة، فمتى تزوجها قبل التوبة أو انقضاء عدتها كان الزواج فاسدا ويفرق
بينهما
5. KHI berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi
wanita hamil akibat zina bila yang menikahi wanita itu laki-laki yang menhamilinya.
Bila yang menikahinya bukan laki-laki yang menghamilinya, hukumnya menjadi
tidak sah karena pasal 53 ayat 1 KHI tidak memberikan peluang untuk itu.
Secara lengkap, isi pasal 53 KHI itu adalah sebagai berikut.
a. Seorang wanita yang hamil di luar nikah
dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
b. Perkawinan dengan
wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih
dahulu kelahiran anaknya.
c. Dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Sebagaimana yang tertuang pada pasal 53 ayat 1, KHI membatasi
perkawinan wanita hamil hanya dengan pria yang menghamilinya, tidak memberi
peluang kepada laki-laki lain bukan yang menghamilinya. Karena itu, kawin
darurat yang selama ini masih terjadi di Indonesia, yaitu kawin dengan
sembarang laki-laki, yang dilakukannya hanya untuk menutupi rasa malu (karena
sedah terlanjur hamil), baik istilahnya kawin “tambelan“, “pattongkogsi
sirig”,atau orang sunda menyebutnya kawin “nutupan kawirang”, oleh
KHI dihukumi tidak sah untuk dilakukan.
Pendapat KHI ini mirip dengan pendapat Abu Yusuf dan Zafar dari Mazhab
Hanafiyah. Keduanya berpendapat bahwa wanita hamil akibat zina dapat dinikahkan
kepada laki-laki yang menghamilinya, tapi tidak kepada laki-laki lain bukan
yang menghamilinya. Hanya saja menurut penulis, ada perbedaan alasan di antara
keduanya.
Bila Abu Yusuf dan Za’far beralasan bahwa kehamilan wanita itu
menyebabkan terlarangnya persetubuhan, yang berakibat terlarang pula akad
nikah, alasan KHI menurut penulis lebih cenderung kepada masalah tujuan
disyariatkannya nikah dan kaitan antara akad nikah yang sah dan kedudukan anak.
Yang menjadi masalah dari pendapat ini adalah bila seorang wanita
berbuat zina dengan lebih dari satu orang laki-laki, kemudian ia hamil,
bagaimana menentukan “pria yang menghamilinya” itu ?
Di dalam pengelompokan hukum islam, zina termasuk kedalam kelompok jinayah (tindak kriminal),
satu kelompok dengan pencurian, perampokan, dan pembunuhan.
Dalam hal pembunuhan, bila seseorang terbukti telah melakukan
pembunuhan dengan sengaja dan di luar kewenangan, kepadanya diperlakukan qishash,
yaitu hukuman yang sama dengan tindak kejahatannya. Artinya bila ia membunuh,
hukumnya dibunuh pula.
Yang menjadi masalah adalah bila seorang korban dibunuh oleh lebih
dari satu orang pelaku, umpama tiga orang. Bagaimana menentukan pembunuh yang
harus di qishash itu ? Apakah ketiganya harus di-qishash ?
Para Ulama mazhab empat sependapat bahwa bila ketiga orang itu
terlibat secara langsung, ketiganya harus diqishash.
Maksudnya, bila si korban terbunuh akibat pemukulan dan yang melakukan adalah
ketiga orang itu, ketiganya harus di-qishash karena mereka bersama-sama harus
bertanggung jawab atas kematian si kurban. Artinya, mereka bertiga
dikatagorikan sebagai pembunuh, tanpa memperhitungkan siapa di antara ketiga
orang itu yang lebih banyak memukulnya dan tanpa perlu diteliti siapa yang
menyebabkan kematian korban.
Hal ini pernah dilakukan Khalifah umar ibnul Khathab r.a. ketika
beliau memerintahkan hukuman mati atas tujuh orang yang membunuh seorang anak
di San’a (ibukota Yaman).Umar berkata, “Sekiranya seluruh penduduk Yaman
berkumpul membunuhnya, aku akan menghukum bunuh mereka semua.”
Dengan mengambil contoh (analogi ) pada masalah pembunuhan, dalam
hal zina, bila seorang wanita berzina dengan tiga orang pria, kemudian ia
hamil, ketiga pria itu harus bertanggung jawab atas kehamilan wanita yang
dizinainya. Artinya, ketiga pria itu dikategorikan sebagai pria yang
menghamilinya, tanpa mempertimbangkan siapa diantara ketiga pria itu yang lebih
sering menyetubuhinya dan tanpa perlu meneliti sperma siapa yang berhasil
membuahi ovum wanita tersebut. Karenanya, dengan pria manapun (diantara tiga pria
itu) wanita hamil itu dinikahkan, dapat dikatakan bahwa wanita hamil itu
dinikahkan kepada pria yang menghamilinya.
Sebagaimana yang telah dikemukakan, pendapat para ulama tentang
status hukum akad nikah wanita hamil akibat zina ini merupakan kelanjutan dari
pendapat mereka tentang wajib atau tidaknya iddah bagi wanita hamil akibat
zina, sehingga perbedaan pendapat terus berlanjut diantara mereka .
Umumnya, mereka konsisten dengan pendapatnya, baik yang berpendapat
wanita hamil akibat zina itu wajib iddah maupun yang tidak wajib iddah, namun
sebagian ulama Hanafiyah (Abu Hanifah dan Muhammad) kurang konsisten, dimana
setelah meyakini bahwa akad nikah wanita hamil akibat zina hukumnya sah,
keduanya berpendapat bahwa wanita tersebut tidak boleh disetubuhi, padahal
salah satu tujuan dari akad nikah adalah untuk menghalalkan persetubuhan,
bahkan arti nikah itu sendiri menurut ahli ushul Hanafiyah adalah
“setubuh”.
Dalam hal kehati-hatian, yang paling hati-hati tentunya para ulama
dari mazhab Malikiyah dan Hanabilah.
Mereka melarang wanita hamil akibat zina melakukan pernikahan, bahkan Hanabilah
mewajibkan bertobat sebelum melangsungkan akad nikah. Akan tetapi, karena dasar
yang digunakannya hanya merupakan pemahaman, bukan berdasar dalil qath’i,
pendapat ini masih memungkinkan untuk dibantah.
KHI dan sebagian ulama Hanafiyah (Abu Yusuf dan Za’far ) juga cukup
berhati-hati dalam masalah ini. Meski mereka membolehkan wanita hamil akibat
zina melangsungkan akad nikah, namun mereka membatasi bahwa yang dibolehkan
menikahi wanita itu hanya laki-laki yang menghamilinya, tidak memberikan peluan
kepada laki-laki lain bukan yang menghamilinya.
Sementara itu, ulama Syafi’iyah dan sebagian ulama Hanafiyah
tampaknya kurang hati-hati. Mereka tidak saja membolehkan wanita hamil akibat
zina melangsungkan akad nikah, bahkan memberikan kesempatan kepada laki-laki
mana saja untuk menikahi wanita tersebut. Hal ini menurut penulis, tidak layak
untuk dilakukan karena orang yang tidak berbuat tidak semestinya dibebani
tanggung jawab.
Dengan demikian,diantara beragam pendapat mengenai status hukum
akad nikah wanita hamil akibat zina ini, penulis mengikuti pendapat kedua,
yaitu pendapat KHI dan sebagian ulama Hanafiyah. Alasannya, disamping tidak
terdapat dalil qath’i yang melarang menikahi wanita hamil akibat zina,juga
orang yang berbuatlah yang seharusnya dibebani tanggung jawab, terlebih lagi
menikahi wanita hamil akan berkait dengan masalah nasab. (Danang P)***