Rabu, 03 April 2013

STATUS HUKUM AKAD NIKAH WANITA HAMIL, AKIBAT ZINA

Perbedaan pendpat di kalangan para ulama tentang wajib atau tidak wajib mengulang akad nikah atas wanita yang hamil akibat zina, menyebabkan perbedaan pendapat mereka tentang boleh atau tidak boleh menikahi wanita tersebut.
1.   Ulama Hanafiyah sependapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil bila yang menikahinya laki-laki yang menghamilinya.

  المرأة الحامل من الزنا عند الحنفية : يحل بالاتقات للزاني ان يتزوج بالزانية التى زنى بها .[1] 

          Alasannya adalah bahwa wanita hamil akibat zina tidak termasuk ke dalam golongan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi sebagaimana yang terdapat di dalam al-Qur’an (lihat an-Nisaa’:22, 23, 24). Akan tetapi, bila yang menikahinya bukan laki-laki yang menghamilinya, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab  ini.
a.    Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa hukum akad nikah wanita hamil dengan laki-laki bukan yang menghamilinya adalah sah, hanya saja wanita itu tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan kandungannya.

فقال الحنفية : اذا كانت المزني بها غير حامل صح العقد عليها من غير الزاني، وكذلك ان كانت حاملا يجوز الزواج بها عند ابي حنيفة ومحمد، ولكن ى يطؤها، لا يدخل بها حتى تضع الحمل [2]

  Alasan sah menikahinya sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, namun mengapa tidak boleh disetubuhi ? Hal ini berdasarkan hadis Nabi Saw.,

لا يحل لامريئ يؤمن بالله واليوم الاخر أن يسقي ماءه زرع غيره (رواه ابو داود) [3]

       “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain.” (H.R. Abu Dawud)

      b.   Abu Yusuf dan Zafar berpendapat, hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina (dengan laki-laki lain) karena kehamilannya itu menyebabkan terlarangnya persetubuhan, maka terlarang pula akad nikah dengan wanita hamil itu. Sebagaimana hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil bukan karena zina, tidak sah pula menikahi wanita hamil akibat zina.

وقال ابويوسف وزفر : لا يجوز العقد على الحامل من الزنا لان هذا الحمل يمنع الوطء، فيمنع العقد أيضا، كما يمنع الحمل الثابت أي كما لا يصح العقد على الحامل من غير الزنا لا يصح العقد على الحامل من الزنا [4] 

2.   Ulama Syafi’iyah berpendapat, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina, baik yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya maupun bukan yang menghamilinya.
  
Alasannya, karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita yang diharamkan untuk dinikahi.
Mereka juga berpendapat, karena akad nikah yang dilakukan itu hukumnya sah, wanita yang dinikahi tersebut  halal (boleh) untuk disetubuhi walaupun ia dalam keadaan hamil.

ويحل التزوج بالحامل من الزنا ووطؤها وهي حامل على الأصح [5]

3.   Ulama Malikiyah berpendapat bahwa wanita yang berzina, baik atas dasar suka sama suka maupun karena diperkosa, hamil atau tidak, ia wajib istibra’-nya tiga kali haid, sedangkan bagi amat (bukan wanita merdeka), istibra’-nya cukup satu kali haid, tapi bila ia hamil, baik merdeka maupun amat (budak), istibra’-nya sampai melahirkan kandungannya.

إذا زنت الحرة طائعة أو مكرهة إستبرئت بثلاث حيضات، والأمة بحيضة، والحامل منهما بوضع حملها [6]

Dengan demikian, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina, meskipun yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya, apalagi  bila ia bukan yang menghamilinya. Bila akad nikah tetap dilangsungkan dalam keadaan hamil (belum istibra’),akad nikah itu fasid dan wajib difasakh.

لا يجوز العقد على الزانية قبل استبرئها ىمن الزنا بحيضات ثلاث أو بمضي ثلاثة اشهر، فإن عقد عليها قبل الإستبراء. كان العقد فاسدا ووجب فسخه، سواء ظهربها حمل أم لا [7]

Pendapat ulama Malikiyah ini didasarkan pada hadits Nabi Saw,.

لا يحل لامريئ يؤمن بالله واليوم الاخر أن يسقي ماءه زرع غيره (رواه أبو داود)

             “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain.” ( H.R. Abu Dawud)

4.   Ulama Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita yang diketahui telah berbuat zina, baik dengan laki-laki bukan yang menzinainya  terlebih lagi dengan laki-laki yang menzinainya (karena dia tahu pasti bahwa wanita itu telah berbuat zina dengan dirinya), kecuali wanita tersebut telah memenuhi dua syarat berikut.
Pertama, telah habis masa iddahnya.Jika ia hamil ,iddahnya habis dengan melahirkan kandungannya. Bila akad nikah dilangsungkan dalam keadaan hamil , akad nikah tersebut hukumnya tidak sah.

وقال الحنابلة: إذا زنت المرأة لم يحل لمن يعلم ذلك نكاحها إلا بشر طينى. أحدهما : إنقضاء عدتها، فإن حملت من الزنا فقضاء عدتها بوضعه. ولا يحل نكاحها قبل وضعه. [8]

Adapun dasar yang digunakan oleh para ulama Hanabilah, disamping hadits yang diriwayatkan oleh Abu dawud di atas, juga berdasarkan hadits berikut ini.

وعن أبي سعيد رضي الله عنه أن النبي ص قال فى سبايا أو طاس : لا تؤطأ حامل حتى تضع، ولا غير ذات حمل حتى تحيض حيضة . (رواه ابو داود).[9]

       Dari Abu Sa’id r.a. bahwa Nabi Saw. Bersabda tentang tawanan wanita Authos, “Tidak  boleh bercampur dengan wanita yang hamil hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil hingga datang haidnya sekali.” (HR. Abu Dawud)

             Kedua,telah bertaubat dari perbuatan zinanya.

والثاني : أن تتوب من الزنا [10]

             Dasar yang digunakan  adalah firman Allah SWT,

... وحرم ذلك على المؤمنين .(النور : 3)

             ... dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.” (an-Nuur:3)
     
Ayat ini dipahami oleh ulama madhab Hanabilah bahwa hukumnya haram  menikahi laki-laki atau perempuan pezina kecuali jika mereka telah bertaubat.

فإذا تابت زال التحريم لقول النبي ص : التاءب من الذنب كمن لا ذنب له.

Di dalam Fiqhus Sunnah didapat keterangan bahwa bila akad nikah dilangsungkan sebelum wanita itu bertobat dan melahirkan kandungannya, pernikannya fasid dan keduanya harus diceraikan.

أن الإمام أحمد ضم إلى التوبة شرطأ اخر، وهو انقضاء العدة، فمتى تزوجها قبل التوبة أو انقضاء عدتها كان الزواج فاسدا ويفرق بينهما [11]

5.   KHI  berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina bila yang menikahi wanita itu laki-laki yang menhamilinya. Bila yang menikahinya bukan laki-laki yang menghamilinya, hukumnya menjadi tidak sah karena pasal 53 ayat 1 KHI tidak memberikan peluang untuk itu.
Secara lengkap, isi pasal 53 KHI itu adalah sebagai berikut.[12]
      a.   Seorang wanita yang hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
      b.   Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
      c.   Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Sebagaimana yang tertuang pada pasal 53 ayat 1, KHI membatasi perkawinan wanita hamil hanya dengan pria yang menghamilinya, tidak memberi peluang kepada laki-laki lain bukan yang menghamilinya. Karena itu, kawin darurat yang selama ini masih terjadi di Indonesia, yaitu kawin dengan sembarang laki-laki, yang dilakukannya hanya untuk menutupi rasa malu (karena sedah terlanjur hamil), baik istilahnya kawin “tambelan“, “pattongkogsi sirig”,atau orang sunda menyebutnya kawin “nutupan kawirang”, oleh KHI dihukumi tidak sah untuk dilakukan.
Pendapat KHI ini mirip dengan pendapat Abu Yusuf dan Zafar dari Mazhab Hanafiyah. Keduanya berpendapat bahwa wanita hamil akibat zina dapat dinikahkan kepada laki-laki yang menghamilinya, tapi tidak kepada laki-laki lain bukan yang menghamilinya. Hanya saja menurut penulis, ada perbedaan alasan di antara keduanya.
Bila Abu Yusuf dan Za’far beralasan bahwa kehamilan wanita itu menyebabkan terlarangnya persetubuhan, yang berakibat terlarang pula akad nikah, alasan KHI menurut penulis lebih cenderung kepada masalah tujuan disyariatkannya nikah dan kaitan antara akad nikah yang sah dan kedudukan anak.

Yang menjadi masalah dari pendapat ini adalah bila seorang wanita berbuat zina dengan lebih dari satu orang laki-laki, kemudian ia hamil, bagaimana menentukan “pria yang menghamilinya” itu ?
Di dalam pengelompokan hukum islam, zina termasuk kedalam kelompok jinayah (tindak kriminal), satu kelompok dengan pencurian, perampokan, dan pembunuhan.
Dalam hal pembunuhan, bila seseorang terbukti telah melakukan pembunuhan dengan sengaja dan di luar kewenangan, kepadanya diperlakukan qishash, yaitu hukuman yang sama dengan tindak kejahatannya. Artinya bila ia membunuh, hukumnya dibunuh pula.
Yang menjadi masalah adalah bila seorang korban dibunuh oleh lebih dari satu orang pelaku, umpama tiga orang. Bagaimana menentukan pembunuh yang harus di qishash itu ? Apakah ketiganya harus di-qishash ?
Para Ulama mazhab empat sependapat bahwa bila ketiga orang itu terlibat secara langsung, ketiganya harus diqishash.[13] Maksudnya, bila si korban terbunuh akibat pemukulan dan yang melakukan adalah ketiga orang itu, ketiganya harus di-qishash karena mereka bersama-sama harus bertanggung jawab atas kematian si kurban. Artinya, mereka bertiga dikatagorikan sebagai pembunuh, tanpa memperhitungkan siapa di antara ketiga orang itu yang lebih banyak memukulnya dan tanpa perlu diteliti siapa yang menyebabkan kematian korban.
Hal ini pernah dilakukan Khalifah umar ibnul Khathab r.a. ketika beliau memerintahkan hukuman mati atas tujuh orang yang membunuh seorang anak di San’a (ibukota Yaman).Umar berkata, “Sekiranya seluruh penduduk Yaman berkumpul membunuhnya, aku akan menghukum bunuh mereka semua.”[14]
Dengan mengambil contoh (analogi ) pada masalah pembunuhan, dalam hal zina, bila seorang wanita berzina dengan tiga orang pria, kemudian ia hamil, ketiga pria itu harus bertanggung jawab atas kehamilan wanita yang dizinainya. Artinya, ketiga pria itu dikategorikan sebagai pria yang menghamilinya, tanpa mempertimbangkan siapa diantara ketiga pria itu yang lebih sering menyetubuhinya dan tanpa perlu meneliti sperma siapa yang berhasil membuahi ovum wanita tersebut. Karenanya, dengan pria manapun (diantara tiga pria itu) wanita hamil itu dinikahkan, dapat dikatakan bahwa wanita hamil itu dinikahkan kepada pria yang menghamilinya.
Sebagaimana yang telah dikemukakan, pendapat para ulama tentang status hukum akad nikah wanita hamil akibat zina ini merupakan kelanjutan dari pendapat mereka tentang wajib atau tidaknya iddah bagi wanita hamil akibat zina, sehingga perbedaan pendapat terus berlanjut diantara mereka .
Umumnya, mereka konsisten dengan pendapatnya, baik yang berpendapat wanita hamil akibat zina itu wajib iddah maupun yang tidak wajib iddah, namun sebagian ulama Hanafiyah (Abu Hanifah dan Muhammad) kurang konsisten, dimana setelah meyakini bahwa akad nikah wanita hamil akibat zina hukumnya sah, keduanya berpendapat bahwa wanita tersebut tidak boleh disetubuhi, padahal salah satu tujuan dari akad nikah adalah untuk menghalalkan persetubuhan, bahkan arti nikah itu sendiri menurut ahli ushul                             Hanafiyah adalah “setubuh”.
Dalam hal kehati-hatian, yang paling hati-hati tentunya para ulama dari mazhab     Malikiyah dan Hanabilah. Mereka melarang wanita hamil akibat zina melakukan pernikahan, bahkan Hanabilah mewajibkan bertobat sebelum melangsungkan akad nikah. Akan tetapi, karena dasar yang digunakannya hanya merupakan pemahaman, bukan berdasar dalil qath’i, pendapat ini masih memungkinkan untuk dibantah.
KHI dan sebagian ulama Hanafiyah (Abu Yusuf dan Za’far ) juga cukup berhati-hati dalam masalah ini. Meski mereka membolehkan wanita hamil akibat zina melangsungkan akad nikah, namun mereka membatasi bahwa yang dibolehkan menikahi wanita itu hanya laki-laki yang menghamilinya, tidak memberikan peluan kepada laki-laki lain bukan yang menghamilinya.
Sementara itu, ulama Syafi’iyah dan sebagian ulama Hanafiyah tampaknya kurang hati-hati. Mereka tidak saja membolehkan wanita hamil akibat zina melangsungkan akad nikah, bahkan memberikan kesempatan kepada laki-laki mana saja untuk menikahi wanita tersebut. Hal ini menurut penulis, tidak layak untuk dilakukan karena orang yang tidak berbuat tidak semestinya dibebani tanggung jawab.
Dengan demikian,diantara beragam pendapat mengenai status hukum akad nikah wanita hamil akibat zina ini, penulis mengikuti pendapat kedua, yaitu pendapat KHI dan sebagian ulama Hanafiyah. Alasannya, disamping tidak terdapat dalil qath’i yang melarang menikahi wanita hamil akibat zina,juga orang yang berbuatlah yang seharusnya dibebani tanggung jawab, terlebih lagi menikahi wanita hamil akan berkait dengan masalah nasab. (Danang P)***


[1]Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamiyyu wa ‘Adillatuhu (Damaskus: Dar el-Fikr, 1985), Cet. II, Jilid VII, hlm. 148
[2] Ibid, hlm. 149
[3]Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishak, Sunan Abi Dawud (Semarang: CV asy-Syifa’), Jilid III,  hlm. 69
[4] Wahbah az-Zuhaili, Op.Cit., hlm. 150
[5]Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu ‘alal Mazahibul Arba’ah (Mesir: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1969), Juz IV, hlm. 523
[6] Wahbah az-Zuhaili, Op.Cit., hlm. 667
[7] Ibid., hlm. 150
[8] Ibid
[9] Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishak, Op.Cit., hlm. 69
[10] Wahbah az-Zuhaili. Op.Cit., hlm. 150
[11] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Bandung: PT. Al-Ma’arif), Cet. XIV, Jilid V, hlm. 150
[12] Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta, 1991/1992), hlm. 34
[13] H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. III, hlm. 138
[14]M. Ali ash-Shabuni, Tafsir Ayat-Ayat Hukum Dalam Al-Quran (Bandung: PT. Al Ma’arif), Jilid I,          hlm. 328

Rabu, 13 Maret 2013

DIBUKA, DIKLAT TILAWATIL QUR'AN TINGKAT DASAR DAN MENENGAH

Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur'an (LPTQ) Kecamatan Tersono membuka kesempatan kepada generasi muda muslim untuk mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Tilawatil Qur'an. Pendaftaran dimulai tanggal 4 sampai 14 Maret 2013 dengan tempat pendaftaran di KUA Kecamatan Tersono Jl Limpung Tersono km 0,5, Tersono Batang pada setiap jam kerja.
Kepala KUA Kecamatan Tersono, eks officio Ketua LPTQ Kecamatan Tersono menyebutkan bahwa generasi muda yang memiliki bakat tilawah, perlu dibina secara teoritis dan praktis hingga mahir sebagai qari' atau qari'ah profesional. Selama ini, anak-anak yang berbakat itu belajar secara otodidak sehingga tidak diikuti dengan pengetahuan dasar yang memadahi mengenai teori tilawah sesuai dengan tausyih lagu. Qaidah-qaidah tilawah perlu diperkenalkan agar para talent dapat mengembangkan bakatnya dengan baik. Hal inilah yang melatarbelakangi diselenggarakannya Diklat ini.
Adapun syarat untuk menjadi peserta diklat sangat mudah, yakni : Mengisi formulir, melampirkan bukti identitas baik berupa kartu pelajar, KTP atau identitas lain. Bagi peserta utusan dari sekolah/madrasah/TPQ perlu melampirkan surat rekomendasi. Acara diklat ini dibuka secara gratis. Sehingga semua peserta tidak perlu mengeluarkan biaya sepeserpun. Menurut Ketua LPTQ, biaya penyelenggaraan ini sepenuhnya peroleh dari dana kas LPTQ Kecamatan Tersono.
Adapun pembukaan Diklat direncanakan besok Jum'at, 15 Maret jam 13.00 di Aula Kecamatan Tersono. Direncanakan, Camat Tersono, Sugeng Sudiharto, S.Sos, MM. akan membuka acara diklat ini secara resmi. Selanjutnya, diklat akan diselenggarakan selama 10 kali pertemuan pada setiap Jum'at sore dimulai pukul 13.00. Tutor yang akan membina para peserta adalah Ustadzah Hanik, juara pertama MTQ umum tingkat Kabupaten. ***