Jumat, 09 April 2010

MENGKRITISI GELAR HAJI

Dalam tradisi Muslim di Indonesia, gelar haji dan hajjah pada nama seseorang, telah menjadi fakta sosiologis. Bukan berarti menggugat sesuatu kemapanan cultural, tetapi penggunaan gelar haji dan hajjah perlu dikritisi. Sebab, secara histories-teologis, tradisi ini tidak ditemui pada jaman Rasulullah maupun masa sahabat dan tabi’in. bahkan hingga saat ini, di belahan dunia Arab dan Timur Tengah umumnya, tidak lazim mencantumkan gelar haji ini pada nama seseorang.

Hal ini menjadi penting dibahas, sebab secara factual, gelar haji sudah menuju ke arah riya, yang dapat mengurangi makna esensi haji sebagai ibadah ritual yang mengharuskan keikhlasan. Bahkan haji telah menjadi trade mark untuk menunjukkan strata spiritual dan moral bahkan social ekonomi seseorang. Haji menjadi komoditas sosial politik untuk meningkatkan strata seseorang. Sehingga banyak orang yang begitu bangga dengan gelar haji/hajjah dan merasa kecut dan kecewa bahkan marah jika gelar haji lupa disebut.



Konteks Historis

Di Timur tengah hingga saat ini sangat jelas tidak lazim penggunaan gelar haji. Realitas ini hanya terjadi di belahan wilayah Nusantara (Asia Tenggara), Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, beberapa muslim minoritas di Negara-negara sekitar. Pada awal masuknya Islam di Wilayah Nusantara sendiri juga belum nampak penggunaan gelar haji. Sebagaimana ditunjukka pada nama-nama Walisongo yang meskipun kesemuanya sudah beribadah haji tapi tidak mencantumkan gelar pada namanya. Demikian pula era sesudahnya, yakni di masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, seperti Bintoro Demak, Pajang, Mataram Islam, Banten, Cirebon, Banjar, Bima, Ternate, Tidore, Aceh, Samodera Pasai dan sebagainya. Para petinggi agama maupun bangsawan Muslim saat itu juga tidak mencantumkan gelar haji.

Penggunaan gelar haji pada nama seseorang diyakini muncul sejak era penjajahan colonial Belanda. Sebagaimana dalam penyebutan beberapa tokoh sejarah, pejuang, atau pemuka agama saat itu. Sebut saja misalnya, haji Miskin di Sumatera Barat. Haji Ahmad Rifa’I di Batang Jawa tengah, Haji Mutamakkin di Pati, Haji Penang, Haji Khatib Sambas di Kalimantan dan sebagainya. Sedangkan tokoh semisal Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol tidak tampak menggunakan gelar Haji.

Dari sini dapat dianalisis, bahwa nyata munculnya kelaziman penggunaan gelar haji pada nama seseorang, dimulai pada era akhir penjajahan Kolonial Belanda.

Pertanyaannya, apa yang melatar belakanginya?

Regulasi tentang haji telah diterapkan oleh pemerintah colonial sejak awal. Regulasi tidak ditujukan untuk pelayanan beribadah sebagaimana yang diterapkan pemerintah RI sejak kemerdekaan hingga saat ini. Dulu, keberangkatan haji muslim Indonesia selalu dikhawatirkan oleh penguasa colonial. Sebab dengan terkumpulnya muslim Innnndonesia dengan muslim di seluruh dunia, mengkawatirkan menguatkan semangat solidaritas keagamaan. Apalagi saat itu sedang gencar-gencarnya gerakan Ikhwanul Muslimin dengan gagasan Pan Islamisme-nya. Sehingga muncul kebijakan pemerintah Hindia Belanda untuk mengawasi secara serius orang-orang yang akan dan telah berangkat haji. Secara praksis, hal ini ditunjukkan dengan dibangunnya karantina Haji di pulau Onrust di kepulauan seribu, yang hingga kini masih sersisa puing-puing bangunannya. Karantina haji konon dipergunakan untuk brainstorming para haji yang hendak berangkat ke tanah Suci dan sepulang mereka agar terbebas dari virus-virus semangat Pan Islamisme. Bagaimanapun dengan diambang kehancurannya Daulah Utsmaniyah sebagai Imperium Muslim dunia yang sebelumnya menjadi kiblat penyatuan kerajaan-kerajaan muslim kecil di se antero dunia, banyak kalangan muslim yang berjuang keras untuk tetap mengikat kesatuan muslim dunia yang telah diacak-acak oleh imperialisme Barat di berbagai belahan dunia Musllim.

0 komentar: